Sunday, September 21, 2014

Semesta turut menyaksikan kebesaran-NYA

Ini menjadi pengalaman pertama, bersama semesta saya turut menyaksikan langsung kelahiran seorang bayi perempuan mungil di sebuah tempat yang kami sebut ‘sisi lain dari republik’ kita, pedalaman Sumatera bagian Selatan dengan hutan sawit dan karet pada sebuah desa di bantaran sungai Lalan, Desa Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin. Saya mengikuti proses kelahiran bayi tersebut, dari kontraksi rendah sampai yang tertinggi, lalu bayi keluar dari rahim ibu, teriakan tangisnya karena menyentuh hawa dingin bumi untuk pertama kalinya memecah ketegangan dalam bilik sederhana berlantai kayu tersebut. Seorang ibu bertaruh nyawa ketika melahirkan bayi. Sempat gemetar saat melihat sang Ibu menjalani detik-detik melahirkan. Lebih dari satu jam saya melihat ibu kontraksi, dan itu sudah terjadi sejak pukul 23.00 semalam. Ibu yang mendampingi putrinya melahirkan pun nampak pucat. Manajemen panik saya diuji melihat beberapa orang tegang. Hati mencoba tetap tenang, mengendalikan diri untuk tidak ikut panik. Di tempat bertugas, pengendalian diri menjadi hal yang terus-menerus diuji, namun menjadi tidak terlalu sulit lagi setelah 9 bulan ditempa di Sekolah Kepemimpinan ini. Sambil turut memegangi ibu, saya mencoba tenang disamping bidan desa yang membantu proses kelahirannya. Sekitar 90 menit kami menunggu, hingga tibalah waktunya.

“Allahu Akbar… Subhanallah…”, kata-kata itulah yang pertama kali terucap dari bibir saya ketika mata ini melihat langsung seorang bayi dilahirkan ke dunia. Ya, posisi saya tepat berada di depan sang ibu, tepat di hadapan tempat lahirnya bayi tersebut. Bersyukur, semuanya berjalan lancar, ibu beserta bayinya selamat dan sehat. Masih gemetar, namun ada rasa haru ketika saya menyaksikan kejadian luar biasa tersebut. Inilah salah satu kebesaran Illahi yang baru pertama kalinya saya saksikan langsung. Seorang bayi yang masih suci lahir ke dunia.

Maha Besar Allah, 24 Maret 2014 sekitar pukul 10.00 WIB, bersama semesta saya turut menjadi saksi kebesaran Illahi. Banyak pembelajaran hidup yang saya peroleh semenjak saya bertugas di Desa Kepayang. Pengalaman ini menjadi moment yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Bagi saya yang tidak punya latar belakang pendidikan di bidang Kesehatan, tentu kesempatan bisa menyaksikan proses kelahiran bayi ini menjadi hal yang langka. Kesempatan yang tidak pernah bisa dibeli. Dan lagi-lagi saya belajar banyak tentang hidup dan perjuangan. Bagaimana seorang ibu berjuang untuk anaknya, bagaimana seorang ibu Kartina nampak tetap tenang membantu proses kelahiran sambil menghibur mereka yang panik, lalu beberapa ibu-ibu warga desa bergiliran menengok dan menjaga, juga belajar ketelatenan ibu Kartina melayani warga.

Terimakasih ibu Kartina, salah satu dewan guru SDN Kepayang yang sekaligus menjadi bidan desa, telah mengijinkan saya untuk ikut mendampingi ibu membantu proses kelahiran seorang bayi. Ibu sangat paham bahwa saya telah lama menanti saat-saat untuk menyaksikan ibu membantu proses kelahiran bayi. Kesempatan itu telah membunuh rasa penasaran saya akan sesuatu yang belum pernah saya alami dan saksikan langsung. Hanya bisa kutitipkan salam rindu kepada ibu melalui angin yang membawa damai, masuk ke celah-celah jendela rumah ibu yang terletak di tengah hutan dan tepi sungai. Sungguh, saya rindu es kacang jahe buatan ibu, rindu nasehat ibu yang sering membuat mata saya berkaca-kaca, rindu peluk cium ibu yang menghangatkan (Ya, ibu Kartina sering mencium kening dan pipi saya setiap saya berpamitan untuk pergi ke kota dan menitipkan anak-anak didik saya kepada beliau). Semoga ibu Kartina sehat-sehat disana bu, semakin berjasa bagi warga desa, dan Allah SWT selalu melindungi ibu :)


Kepayang, April 2014.
 

Friday, September 19, 2014

Introverts just more complex than you

Are you an introvert?

Menjadi introvert seringkali dianggap aneh. Punya dunia sendiri. Ya. Mereka suka berimajinasi, lalu melakukan hal-hal yang diinginkan tidak harus ditemani siapapun. Menghabiskan waktu di sebuah tempat atau ruangan yang ia sukai menjadi hal yang menarik, karena mereka bisa mengerjakan banyak hal yang mereka gemari. Tanpa intervensi siapapun. Bebas menentukan keputusan dan begitu memahami hal yang menjadi prioritas serta kapasitas dirinya. Kalau sedang emosi, seringkali introvert memilih diam atau menyendiri, menjauh untuk membentuk zona nyamannya. Namun tanpa diduga juga mampu kembali ke kondisi semula dalam kurun waktu tertentu. Tak melulu dingin dan pendiam, sebagian dari merekapun hangat, sangat hangat dan mudah berteman. Mudah dekat dengan siapapun karena mampu membuat orang merasa nyaman saat berkomunikasi, rasa empatinya tinggi, pengertian. 

Sisi lainnya, kalau sudah berada pada titik jenuh atau lelah, mereka sungguh sangat menyebalkan. Tidak bisa disentuh dan membuat orang sekitarnya menjadi kurang nyaman. Lalu mungkin beberapa dari mereka menjauh, dan setelah sembuh akan hangat kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Unpredictable. Ketika bagi seorang introvert “menyendiri” adalah bagian spesial dalam episode kehidupan, namun seringkali mereka dianggap menyebalkan oleh teman-temannya. Terkesan defensive. Tidak mau membaur atau bergaul. Sok sibuk sendiri. Dalam keadaan tertentu, sebenarnya introvert mudah ceria. Hanya, titik jenuh atau puncak emosi yang lebih sering dipendam di dalam hati membuatnya menjadi pribadi yang sungguh menyebalkan saat itu, bahkan memungkinkan sekali introvert dijauhi teman-temannya pada kondisi tersebut. Bukan, introvert sesungguhnya tidak seperti itu. Seringkali ketegasan yang meluap menyinggung perasaan orang lain, sehingga tak perlu hal rumit untuk bertahan, maka mereka lebih memilih diam memendam, dan dijauhi saja. It’s better than they must have a fake smile to make someone feels happy! 

Well.. Tak ada yang salah dengan kepribadian seseorang. Jika anda menemukan seorang teman dengan karakter serupa, please don’t judge a book from the cover. Introvert tidak punya niat menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain, hanya terkadang mereka terlalu jujur, tak pandai untuk menyembunyikan apa yang mereka tak sukai. Kadangkala, justru ketidaksukaannya akan sesuatu hanya dipendam di hati, menjauh menjadi pilihan utamanya. Nampak menyebalkan, namun sesungguhnya tak ada niat menyakiti siapapun. They are just more complex than you. Introverts are just the kind of people who would prefer to be around one goodmind, rather 100 empty ones.


Tulisan ini tidak sepenuhnya benar, tidak berdasarkan penelitian, subjektif, hanya berdasarkan pengamatan dan analisa pribadi sehingga tidak perlu terlalu dipercaya. Bagi yang membaca perlu memfilter mana yang sekiranya sesuai dan tidak. Saya mengingat perkataan teman saya yang seorang blogger, “Tulisan itu tidak ada yang bagus atau tidak bagus. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda untuk mengartikannya”. Ya, karena pembaca adalah outsiders. Dan penulis memiliki point of view tersendirinya dari apa yang ditulisnya even those are not make a sense.

Thursday, September 18, 2014

Laksana padi, semakin berisi semakin merunduk

Ada sense tersendiri yang aku rasakan setiap bertemu dengan seorang tukang becak, terutama yang sudah sangat tua atau sepuh. Mungkin ini karena memori saat kecil masih melekat, saat menyaksikan bapak atau ibu yang selalu ramah dengan seorang tukang becak. “Kasihan nduk sudah nganter jauh, ditambah saja”. Kata-kata itu membekas. Bapak atau ibu sering mengingatkan ketika dulu aku atau adik-adik bepergian sedang tidak berkendaraan, pasti menggunakan becak karena belum ada bus khusus masuk ke kompleks rumah kami pada saat itu, jadi kalau berjalan kaki dari pertigaan jalan raya cukup melelahkan meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh, apalagi naik becak harganya sangat terjangkau. Beberapa waktu ini aku sedang sering menggunakan becak untuk bepergian, dan kenangan masa kecil itu muncul kembali. Setiap akan naik becak, aku selalu memilih tukang becaknya terlebih dahulu. Biasanya yang ingin aku temukan adalah sosok yang sudah sepuh dan nampak masih sehat. Tahukah kenapa?

Saat duduk di dalam sebuah becak yang dikayuh oleh sosok yang sudah sepuh, biasanya beliau-beliau suka mengobrol, dan memberikan nasehat soal kehidupan. Aku suka suara bapak-bapak tua yang telah makan asam garam kehidupan begitu meneduhkan dan mengayomi. Seperti sedang dinasehati oleh mbah kakung yang hanya satu tahun sekali kutemui di desa saat hari lebaran. Dari sini semakin belajar menjadi pendengar yang baik.

Saat duduk di dalam sebuah becak yang dikayuh oleh sosok yang sudah sepuh, aku sering kena harga yang sangat sewajarnya, sehingga rasa tidak tega untuk memberi hanya sewajarnya itu muncul sekalipun jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Ini ampuh melembutkan hati, terutama bagi yang cukup arogan akan cinta seperti hati si penulis cerita ini.

Saat duduk di dalam sebuah becak yang dikayuh oleh sosok yang sudah sepuh, tahukah ada apa? Engahan nafas dan cucuran keringatnya membuatku mengingat kembali bahwa, begitu sering kufur nikmatnya diri ini. Kurang bersyukur dengan segala kemudahan dan nikmat yang telah Allah SWT berikan. Tidak perlu merasa kesusahan mencari makan, sementara di belakang tempat aku duduk menikmati semilir angin, ada sosok yang untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya saja membutuhkan perjuangan panjang dan berat. Dari sini aku belajar untuk semakin bersyukur dengan hal-hal yang kecil dan sewajarnya.

Saat duduk di dalam sebuah becak yang dikayuh oleh sosok yang sudah sepuh, aku merasakan suasana damai yang tidak akan didapat oleh para pengguna angkutan umum yang berdesak-desakan diantara kemacetan. Tak kutemukan keangkuhan di diri beliau. Dibalik kulit yang terbakar dan telah dimakan usia, yang nampak adalah sosok bijaksana. Tenang. Turut kurasakan sekitarku damai, jauh dari hiruk pikuk kebosanan. 

Saat duduk di dalam sebuah becak yang dikayuh oleh sosok yang sudah sepuh, sungguh ada sense tersendiri yang entah sulit lagi kulukiskan. Hanya rasa nyaman tanpa beban yang kurasakan, menikmati perjalanan singkat namun sarat makna. Ada ketulusan di setiap kayuhannya, di setiap engah nafasnya, di setiap kalimat yang digulirkannya...

Bapak tukang becak, terimakasih atas setiap kayuhan dan engahan nafas yang telah membuatku banyak belajar, membuatku tertampar malu. Terimakasih atas berbagi cerita dan nasehat dari kemampuan langka yang bapak miliki. Terimakasih atas bekal kehidupan untuk perjalananku kedepan. Bekal yang dapat kugenggam sampai aku menemukan cinta hingga menginjak senja. Kelak aku bisa ajarkan kepada anak-cucuku untuk menjadi pribadi yang lebih rendah hati itu caranya sederhana, salah satunya adalah dengan mengenalkan mereka kepada tukang becak yang baik, sesederhana itu. Agar mereka dapat melihat bahwa ada sosok-sosok tangguh dari segi yang berbeda, dari sekitar yang bahkan tak terjamah. Ingin kusampaikan, profesi bapak sungguh menginspirasi saya, membuat saya malu, seorang sarjana yang justru bukan laksana padi semakin berisi semakin merunduk, tak mampu memiliki kerendah-hatian seperti bapak, yang sederhana namun penuh ketekunan.

Tahukah bahwa, semua tukang becak itu menurutku baik, entah kenapa, karena aku selalu dipertemukan dengan tukang becak yang baik. Kalau ada yang terkadang bertemu dengan tukang becak yang kurang baik, mungkin tukang becak yang sering kutemui adalah mutiara terpendam, pasti bisa ditemukan kalau kita mau mencari, memilahnya. Semoga semua bapak tukang becak yang baik selalu dalam lindungan Allah SWT, Amin.


Bapak tukang becak, andalah padi itu :)




Terinspirasi dari para tukang becak yang dengan ramah telah mengantarkan saya di sekitar jalan Malioboro Yogyakarta, dan seorang lagi yang saya temukan di salah satu sudut kota Kediri (Bapak yang indigo, terimakasih telah menemani saya yang sedang terdampar sendirian dini hari menunggu bus sejak 01.30-03.30 di gardu pos satpam daerah kepolisian kota tersebut. Tanpa bertemu sebelumnya, bapak seperti telah mengenal saya sejak saya kecil, nasehat-nasehat itu akan membekas. Jasa bapak tak terlupakan. Semoga bapak selalu sehat).


Nb. Kondisi ini tidak bisa dibandingkan dengan tukang becak yang ada di kota besar dengan tuntutan biaya hidup yang tinggi ;)

Hai Cinta!

Hai cinta! Apa kabar?

Kalian sering sekali menyapa saya, bahkan dalam dua tahun terakhir ini, begitu sangat sering! Sampai membingungkan. Tahukah? Kalian lebih sering menyenangkan hati saya, bermain-main di memori pada beberapa waktu. Lebih sering saya jual mahal, sok kuat tepatnya. Walau terkadang, dari kalian hanya singgah sejenak saja tanpa jejak. Tak masalah, sungguh! Saya bisa arogan seperti ini karena satu tahun ditempa di salah satu daerah terpencil cukup membuat saya kuat. Tak melulu ambil pusing soal hati. Sudahlah, atau biarlah berlalu. Hanya itu yang terucap dan semakin menguatkan saya. Atau.... apakah hati ini yang terlalu dingin? Keterlaluankah?? Beberapa kali membuat sayap cinta patah! Tak ada maksud melukai. Mungkin hati hanya perlu belajar untuk tak selalu hangat dengan siapapun. Ataukah... di dalam sini sudah terlalu beku sehingga kehangatan yang nampak dari luar itu seringkali membuat beberapa cinta berharap, namun akhirnya menelan kecewa.

Tiga tahun yang lalu, kalau kukatakan “iya”, mungkin saat ini telah kutimang beberapa putra dan putri yang lucu. Dua tahun yang lalu, kalau kukatakan “iya”, keadaannya pun akan sama seperti tiga tahun yang lalu. Satu tahun yang lalu, kalau kukatakan “iya” juga, saat ini mungkin saya tidak akan belajar keras disini, kembali lagi menekuni dan mengaitkan benang-benang mimpi. Sepertiga di tahun ini pun, kalau kukatakan “iya” juga, seperti satu tahun yang lalu, keegoisan saya mungkin akan saya letakkan di sudut hati karena kewajiban melayani keluarga menjadi hal yang utama.

Dengar cinta! saya tidak pernah menyesal dengan keputusan yang telah saya buat itu. Bahkan mungkin saya menjadi semakin arogan. Ya, berjuang menjadi seperti saat ini bukanlah hal yang mudah. Bertahun-tahun menjalani hidup sebagai pribadi yang sangat mengutamakan “feeling” adalah menyenangkan, namun tahukah kamu cinta? Dibuai kesenangan saja tak cukup menguatkan saya ketika harus dihantam di lingkungan dengan karakter yang heterogen dan amoral. Satu tahun itu telah mengubah saya. Masih cengengkah? Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali saya menangis atau terluka hanya karena cinta. Bahkan pernah sekali terlintas saya tidak berharap akan menikah. Sebegitu arogannya saya bukan beberapa saat lalu itu? Sekarang? Tentu, saya masih belum letih menanti. Tanpa menghilangkan kearoganan ini tentunya. Hati hanya menunggu ada yang mampu merobohkan tembok kearoganan itu. Lalu Cinta, apa yang saya cari di diri kamu sebenarnya? Hanya satu. Ketika di dalam sini ada kekuatan yang sulit dilukiskan namun semakin menegaskan, “Ini yang aku cari”.

Dibuat karena beberapa malam ini saya susah tidur meski mata sudah berat.
 

Menjadi Pengajar Muda itu...



Bismillahirrahmanirrahim…

Saat menulis ini adalah dini hari bertepatan dengan terjadinya hujan badai di desa tempat saya tinggal, dan saya sedang kurang sehat. Semenjak tinggal di desa ini, ini bukan yang pertama kalinya saya terbangun pada dini hari dan bertepatan dengan hujan badai, lalu melakukan refleksi perjalanan saya selama tinggal di desa tempat saya bertugas sebagai Pengajar Muda di Kabupaten Musi Banyuasin. Ya, ini sudah yang ke sekian kalinya saya terbangun saat hujan badai dini hari dan banyak merenung. Beberapa hari (22-27 September) mengurus NUPTK di diknas Kabupaten Sekayu, ditambah perjalanan pulang off road berjam-jam memotong hutan dari Kabupaten Sekayu menuju Kecamatan Bayung lencir, belum lagi perjalanan sungai menuju ke desa menggunakan speedboat terbuka selama 2,5 jam dan berdampingan dengan angin ganas, membuat saya ambruk.. Tapi lagi-lagi, ketika mengingat senyum dan semangat anak-anak SDN Kepayang untuk belajar, untuk mengaji, membuat saya sering mengabaikan rasa lelah yang hinggap di tubuh. Meskipun terkadang kesedihan terbersit, menyaksikan mereka tumbuh di lingkungan “tak ramah”, tidak seperti anak-anak di kota besar yang merasakan tinggal dan tumbuh di zona nyaman. 

Desa Kepayang. Desa tempat saya bertugas terletak di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin dengan ibukota kabupatennya adalah Sekayu. Dari kecamatan, sekitar 80 km apabila ditempuh menggunakan jalur sungai, dan sekitar lebih dari 130 km apabila ditempuh menggunakan jalur darat melewati areal hutan sawit. Itupun tidak bisa langsung menggunakan jalur darat untuk mereka yang berdomisili di desa Kepayang, harus menyeberang dahulu ke desa seberang (desa aspa) menggunakan ketek (sejenis rakit atau perahu kayu sebagai alat transportasi sungai penghubung antar desa) menuju tempat mobil warga diparkir. Tapi jangan dikira jalanan mulus jika naik mobil menuju kecamatan melewati jalur darat, tahu sendiri seperti apa jalanan di Sumatera, kalau tidak terbiasa, bisa membuat tubuh kamu seperti dibanting-banting saat berada di dalam mobil berjam-jam, dan tubuhmu perlu diurut untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Setiap daerah penempatan Pengajar Muda memiliki tantangan yang berbeda-beda, baik secara geografis maupun sosiologis. Tidak bisa dibanding-bandingkan tingkat kesulitannya, dan tentunya, tidak semuanya bisa dilalui dengan “mudah”. Mungkin saya tidak berhadapan langsung dengan ombak besar di lautan saat melakukan perjalanan ke desa tempat bertugas, tidak berhadapan langsung dengan suku-suku pedalaman yang merasa ‘asing’ dengan orang baru dan sulit berbahasa Indonesia, tidak menjadi kaum minoritas di sebuah tempat dimana kamu menjadi satu-satunya orang yang beragama islam, tapi untuk seseorang yang hanya bisa berenang di kolam renang berkedalaman 2-5 meter, menjadi tantangan tersendiri bagi saya ketika harus tinggal dan dihadapkan langsung dengan sungai Lalan yang memiliki kedalaman sekitar 40-60 meter. Belum lagi ketika perjalanan kembali ke desa dari kota Palembang di jembatan Ampera menggunakan jalur sungai, kamu mendapatkan moment yang tidak pernah kamu duga sebelumnya, speedboat kayu yang kamu naiki dihantam badai di tengah-tengah sungai Musi-nya, saat itu saya ber-speedboat tanpa life-vest, dan menyaksikan orang-orang di dalamnya yang telah terbiasa menaiki speedboat bertahun-tahun saja bisa berwajah panik melihat kendaraan yang dinaikinya dihantam ombak sungai dan hampir-hampir terbalik (Ini sungai besar, bahkan bisa dibilang laut di dalam pulau Sumatra, jadi arus sungai bukan lagi arus kecil, tapi bisa dibilang ombak). Saat itu saya dan dua orang PM rekan saya hanya bisa berdoa agar selamat sambil saling berpegangan tangan kuat-kuat. Lalu saat di desa, melihat anak-anak kecil berlarian di sepanjang dermaga-dermaga kayu yang rapuh, juga anak-anak kecil berenang di tengah-tengah sungai tanpa pengaman, saya sering merasa khawatir. Ya, mereka memang berbeda, lahir dan dibesarkan di alam, tentu kemampuan survival-nya jauh lebih baik dibandingkan saya, seseorang yang dibesarkan di lingkungan “ramah”, dan hanya mendapatkan pelatihan survival beberapa hari saja dalam masa pelatihan intensif calon Pengajar Muda angkatan VI. Jadi tidak heran, ketika sampan kecil mereka tiba-tiba terbalik di tengah-tengah sungai karena ombak yang dibuat oleh kapal besar yang sedang lewat di sekitar mereka, lalu mereka yang terjatuh di air hanya tertawa-tawa sambil berenang, mencoba meraih sampan, membalikkannya, dan mengendalikannya kembali menuju tepi sungai. Saya yang melihat dari kejauhan hanya bisa dag dig dug melihat anak-anak didik saya terombang-ambing sambil tertawa-tawa tanpa ada rasa takut ketika berenang di sungai yang dalam itu.

Di sisi lain, masyarakat disini tidak mudah dihadapi dan diterima dengan akal sehat saya. Saat belum genap satu bulan saya tinggal di desa, sudah terjadi dua kali tindak kriminal di area dekat sekolah pada saat bulan puasa, penusukan dan penembakan. Sekali lagi, bagi seseorang yang dibesarkan di lingkungan “ramah”, tentu saja asing, kaget, menyaksikan di dekat tempat ia tinggal, begitu lekatnya tindak kriminal terjadi. Belum lagi ketika hampir setiap hari di sepanjang jalan menuju rumah orang tua angkat saat pulang sekolah, saya harus menelan pahitnya melihat anak-anak didik saya tinggal dan besar di lingkungan yang sumber mata pencaharian orang tuanya adalah melalui judi dan togel. Lalu melihat minum-minuman keras beredar, permainan kartu berdampingan dengan uang, ibu-ibu mengkonsumsi rokok, orang tua bertengkar hebat dihadapan anaknya, kekerasan verbal dimana-mana, dan semua itu terjadi begitu saja di hadapan anak-anak, di hadapan siswa-siswi saya. Suatu ketika saya pun mengetahui sejarah bahwa desa tempat saya tinggal memang beberapa kali pernah digrebek oleh polisi karena adanya peredaran obat-obatan terlarang, sungguh miris… Ya, lagi-lagi, bagi seseorang yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan “ramah”, lalu saat menginjak usia pencarian jati diri pun besar di kalangan teman-teman yang ramah, tiba-tiba dihadapkan di daerah yang saya pribadi menyebutnya,mohon maaf, sarang maksiat, kalau tidak tahan banting, tidak punya semangat untuk survive, tidak terbiasa underpressure, tidak punya kemauan memberontak untuk melakukan perbaikan, bisa-bisa sakit mental menghadapi tantangan sosiologis yang seperti ini.

Di saat hujan badai pada dini hari seperti inilah, saya pun sering merenung, teringat cerita seorang teman tentang desa tertimbun di daerah Dieng, dan kadang terlintas sedikit rasa khawatir. Saya dan teman Pengajar Muda Kabupaten Musi Banyuasin pernah bercakap-cakap, kalaupun desa tempat kami tinggal (yang rata-rata letaknya tepat di tepi sungai besar) di-azab (ditenggelamkan) karena penduduknya yang jauh dari mengingat Tuhan, kami sudah pasrah, dan semoga kami adalah termasuk kaum yang diselamatkan oleh-NYA. Wallahua’lam… ini bukan ketakutan yang berlebihan. Jika kamu mengalaminya sendiri, menjadi seseorang yang tinggal di lingkungan yang 180 derajat berbeda jauh dengan lingkungan tempat kamu tinggal, kamu pasti akan merasakan apa yang saya rasakan.

Tapi lagi-lagi, kata “menyerah” menjadi pantangan, menyerah pada tantangan geografis dan sosiologis? Kalau bukan karena mengingat ada anak-anak di ujung negeri ini yang perlu diperjuangkan harapannya, perlu turut dilunasi janji kemerdekaannya, perlu kehadiran guru yang hangat, yang mendidik tanpa kekerasan, perlu pendidikan yang lebih baik dan lebih layak, perlu pola asuh yang tepat yang tidak mereka peroleh dari orang tuanya, mungkin saya tidak akan pernah berada di desa tempat saya bertugas sekarang. Ya, anak-anak di Desa Kepayang inilah yang membuat nurani berontak saya terhadap keadaan terkadang menjadi melunak, membuat akal sehat saya yang terkadang jungkir balik kembali menjadi stabil ketika mengingat senyum polos mereka, membuat mulut saya diam terkatup atau tetap tinggal dengan senyuman saat kesabaran saya terus-menerus diuji, dan di waktu yang singkat ini, saya harus mendampingi mereka untuk mengenalkan hal-hal kecil yang sebenarnya mereka paham hanya kurang pembiasaan, menasehati itu tidak perlu dengan memukul atau berteriak, menolong sesama tidak perlu imbalan, sekolah itu sangat penting, lalu mengenalkan bahwa belajar adalah tidak melulu menyalin tulisan dari guru atau dari buku, tidak melulu duduk di bangku kelas selama berjam-jam mendengarkan ceramah saja,belajar itu bisa sambil bermain dan bernyanyi. Juga mengenalkan bahwa, Indonesia itu besar dan luas, apalagi dunia, dan setiap anak akan mampu meraihnya apabila pendidikannya baik, sehingga kelak ketika dewasa mereka bisa menyimpulkan bahwa, saya tidak menyesal lahir dan besar di desa, ibu guru...


Desa Kepayang, 29 September 2013, 03.08 WIB.