Saturday, December 13, 2014

Kutitipkan sepucuk rindu pada angin yang berhembus

Oktober 2014.

Empat belas minggu sudah saya tak bersama malaikat-malaikat kecil yang biasanya mengiringi pagi hingga malam saya di sebuah desa terpencil nun jauh disana. Setiap melangkahkan kaki keluar rumah di hampir semua pagi yang terdengar damai oleh cicit burung-burung hutan khas bumi Sriwijaya, lalu hingga malam tiba dan langit nampak petang oleh pekat pergantian hari, sampai menjelang mereka terlelap, celotehan riang dan langkah-langkah kecil mereka tak pernah terpisah dari saya. Tiap pagi selalu ada yang menjemput untuk bersama-sama menuntut ilmu di ruang-ruang belajar yang sengaja dibuat menyenangkan. Lalu ketika tengah hari tiba, tak luput pula ada yang mengantar sampai mulut pintu rumah untuk memastikan ibu gurunya dapat beristirahat sejenak menghilangkan penat. Pun sore hari menuju langgar di hilir desa untuk mendengar merdunya mereka mengaji, langkah gontai namun tetap menyimpan semangat ini selalu diikuti malaikat-malaikat kecil yang bergelayutan manja di pundak atau tangan. Alunan merdu arus anak sungai yang sedalam laut tak mau kalah riang, menemani kami menghabiskan hari-hari yang panjang tanpa aliran listrik penuh di desa, bersamaan sinyal pada seluler yang hilang timbul, juga tanpa ditemani hiruk pikuk segala jenis transportasi dan polusinya di kota besar yang pengap sana.. Sungguh! Saya tak pernah menyangka pernah begitu kuat menjalani hari di tempat berpijak yang cukup sulit bersama mereka, selama satu tahun.
 
Ketika lelah, ibu sadar tawa kalian membangkitkan kembali semangat untuk tak menyerah. Saat penat menggelayuti memori, ibu sadar tangan-tangan kecil kalian yang kerap menggandeng dan membawakan beberapa suap energi mampu menguatkan kembali langkah lelah ini. Ketika hampir-hampir naik darah karena kurangnya kesabaran, ibu sadar, bahwa kalian sangat pantas diperlakukan selembut mungkin. Saat mata telah berat oleh setumpuk kewajiban, celotehan dari mulut kecil kalian membuat rasa ingin tidur ditunda saja, memilih menghabiskan malam-malam di tepi dermaga sungai bersama pertanyaan-pertanyaan kritis kalian, atau sekedar menyanyi untuk menghidupkan sepi, mengalahkan suara nyaring jangkrik-jangkrik di kebun-kebun desa. 

Tahukah nak? Kalian mengajarkan banyak hal kepada ibu. Kalian telah mengajarkan bagaimana memetik ketulusan dari seorang anak kecil, memetik kejujuran dari kepolosan kalian, belajar kuat dari kalian yang sejak dini telah harus menjadi tulang punggung keluarga, belajar mengemas emosi diri, belajar menyeka rengek dan tangisan kalian lalu mengubahnya menjadi tawa dan damai, belajar menyampaikan sesuatu yang rumit menjadi hal yang lebih sederhana, belajar tetap rendah hati karena menyadari bahwa kalian jauh lebih pintar menanyakan hal-hal sulit atas rasa keingintahuan yang tinggi, yang bahkan ibu tak mampu menjelaskannya sesederhana mungkin.

Mungkin seringkali dering telepon dari kalian tidak ibu indahkan. Atau beberapa patah kata sapa ditanggapi dengan sangat terlambat. Sungguh, tak ada niat melupakan atau melukai. Belajar membuat kalian "melepas" hal yang kalian cintai memang tidak mudah. Namun, mengenal sedikit ketegaran dengan cara yang berbeda sejak kecil terkadang diperlukan. Semoga ketika dewasa kelak kalian paham, bahwa tidak selamanya kita akan dapat memiliki apa yang kita harapkan. Belajar untuk merasa nyaman di zona yang tidak nyaman memang tak mudah. Tapi sadarkah bahwa, kalianlah yang juga telah mengajarkan kepada ibu untuk berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan lumpur di sungai, berdamai dengan asap hasil bakaran ubi, berdamai dengan gelombang saat naik perahu ketek, berdamai dengan debu dan keringnya tanah merah di belakang desa, berdamai dengan kayu-kayu dermaga yang telah rapuh, berdamai dengan gigitan nyamuk-nyamuk besar di kebun karet dan jeruk, berdamai dengan rusaknya genset desa sehingga listrik tak menyala berminggu-minggu lamanya lalu kita belajar kepekaan menggunakan lilin juga senter :), berdamai dengan terik matahari di hutan, berdamai dengan lebatnya hujan disertai angin yang cukup sering membuat cemas karena kita hidup di tepian sungai besar, sebuah area yang cuacanya cukup ekstrim. Dan berdamai dengan banyak hal. Ah.. kalian mengajarkan ibu tentang hidup yang sesungguhnya bersama keterbatasan :)

Tahukah kalian? Ibu itu sungguh rindu! Dan menahan rasa itu seringkali nampak lebih pedih daripada mereka yang mampu bebas lepas mengungkapkannya. Semoga kalian semua sehat disana dan semakin bertambah pintar ya! Tak mampu mengungkap lagi, hanya melalui goresan ini ibu titipkan rasa itu. Sembari mengadukan rasa pada Sang Pencipta, ibu titipkan salam rindu.. 
Semoga angin hadir menyampaikannya bersama kelembutan yang hangat menyentuh kalian.. :)


NB. I miss them so bad! Dibuat karena lagi-lagi “thinking” saya dikalahkan oleh “feeling” terhadap anak-anak. Didedikasikan juga untuk adik-adik saya di BEM FPIK, rasa yang sama terhadap kalian juga membekas. Terimakasih telah menjadi “anak-anak saya yang baik dan manis”. Terimakasih telah berperan mendewasakan saya. Sukses bersama ya! Ibu rindu kalian semua. Salam sayang :)