Juli
2013. Duduk di dermaga sore, memandangi indahnya matahari terbenam diiringi
semilir angin yang lembut membelai. Kaupun menyaksikan gelombang air sungai
seolah berbisik menyuarakan sambutan untukmu, “Selamat datang di kerajaan anak
sungai Musi, ibu guru.. Sampai satu tahun kedepan, kami dan mereka, yang kalian
sebut sebagai mutiara-mutiara terpendam di pelosok negeri, akan menjadi saksi
hidupmu di tanah pengabdian ini. Suka dukamu akan terekam jelas di benak kami
sekalipun hanya tersirat dalam bisu. Ibu guru.. Selamat datang di bumi
Sriwijaya, selamat berbakti..”. Matahari sore itu pun hangat menyapa seorang
anak manusia yang sedang berdiri di tepi dermaga, yang rindu akan damainya
suara cicit burung dari hutan, rindu harum tanah baru, rindu petualangan baru,
dan semakin ingin terbang tinggi dari sangkar untuk menyentuh dunia luar.
Ada
perasaan berbeda ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa Kepayang,
Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan.
Ya, sebuah desa dimana aku ditugaskan oleh Indonesia Mengajar untuk mengajar
anak-anak di Sekolah Dasar Negeri Kepayang, melanjutkan tongkat estafet kak
Adji Prakoso (Pengajar Muda Angkatan IV) selama satu tahun kedepan. Warga desa
dan anak-anak itu menyambutku dengan sangat hangat, terdengar bisik-bisik dari
beberapa anak, “Ibu gurunya mirip ibu guru Mila ya”. Aku dibilang mirip ibu
guru Milastri Muzakkar (Pengajar Muda Angkatan II, sebelum kak Adji). Sosok
seorang ibu guru Mila yang mengajar mereka 2 tahun lalu, bayangannya masih
melekat jelas di benak anak-anak SD N Kepayang. Begitu juga sosok bapak guru
Adji. Anak-anak masih saja sering menyebut-nyebut nama kedua Pengajar Muda
tersebut, sekalipun ibu dan bapak gurunya sudah tidak menemani mereka di desa.
Inilah bukti ketulusan dari sebuah pengabdian. Ketulusan itu terukir jelas di
memori anak-anak SD N Kepayang. Bekas langkah mereka meninggalkan warna pelangi
di kehidupan sebuah desa yang terletak di tepi sungai berkedalaman 40-50 meter.
Ada kekaguman tersendiri ketika aku mendengar kisah kedua Pengajar Muda
tersebut dari mulut kecil anak-anak, dari cerita ayah dan ibu angkat, dari
guru-guru di sekolah. Mereka meninggalkan kesan luar biasa yang akan tertanam
di hati setiap warga, di hati setiap anak yang sedang tumbuh, berkembang untuk
menjadi generasi penerus yang lebih baik, lebih tangguh tentunya, dan siap
untuk membangun negeri kelak.
Hampir
2 bulan aku tinggal dan berinteraksi bersama anak-anak itu. Sekolah tempat
mereka belajar memang tidak semegah sekolah di kota-kota besar. Diantara enam
ruang kelas, tiga ruang kelas berlantai kayu (ruang kelas 1-3), dua ruang kelas
berlantai tanah (ruang kelas 4 dan 5), satu ruang kelas berlantai keramik
(ruang kelas 6). Tapi, di dalam sebuah bangunan sederhana itu, aku melihat semangat
mereka untuk mau belajar sungguh luar biasa. Antusias sekali ketika kuajak
mereka belajar sambil bernyanyi. Anak-anak cepat sekali menghafal sebuah lagu
yang sering kunyanyikan untuk mereka di saat kami sedang bermain bersama.
Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Sherina, berjudul “Ku Bahagia”.
Kita bermain-main.. Siang-siang hari Senin..
Tertawa satu sama lain.. Semua bahagia, semua
bahagia..
Kita berangan-angan.. Merangkai masa depan..
Di bawah kerindangan dahan.. Semua bahagia,
semua bahagia..
Matahari seakan tersenyum…
Walau makan susah.. Walau hidup susah
Walau ‘tuk senyumpun susah..
Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah
dilupakan
Oh ku bahagia.. Oh ku bahagia…
Kita berlari-lari.. Bersama mengejar mimpi
Tak ada kata ‘tuk berhenti, Semua bahagia..
Semua bahagia..
Aah,
cepat sekali anak-anak mungil itu menghafal lagu yang kunyanyikan tanpa melihat
liriknya, anak-anakku sama sekali tidak pernah membaca lirik lagunya, atau
pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Namun hanya dalam waktu satu minggu saja
mereka sudah mampu menyanyikannya dengan nada yang tepat, mirip seperti yang
dinyanyikan oleh penyanyi aslinya.
Benar
kata kebanyakan dari mereka, bahwa bahagia itu memang sederhana, sangat
sederhana.
Bahagia
itu ketika setiap pagi beberapa anak menggandeng tangan kanan kirimu saat kamu
berjalan, mengajakmu berangkat ke sekolah bersama-sama.
Bahagia
itu ketika setiap apa yang kamu sampaikan di kelas membuat mereka antusias
untuk bertanya, untuk mau belajar hal baru, sekalipun sebenarnya sulit bagi
mereka untuk mengerti, untuk memahami apa yang ibu gurunya sampaikan :p
Bahagia
itu ketika kamu sedang menganalisis kemampuan membaca anak didikmu, lalu masih
banyak diantara mereka yang membaca satu kalimat saja sangat terbata-bata, tapi
mereka masih mau berusaha menyelesaikan satu paragraf bacaan untuk membuat ibu
gurunya bangga.
Lalu….
Setiap pulang sekolah dan suasana sekolah sudah sepi, beberapa anak
mendatangimu di ruang guru sambil berkata, “Ibu, aku mau tunggu ibu pulangnya,
aku mau menemani ibu disini, janji tidak
akan gaduh dan ganggu ibu”, itulah bahagia :)
Lalu….
Setiap sore ketika kamu duduk sendiri di tepi dermaga sedang mengharapkan
sinyal handphone muncul barang satu batang saja, tiba-tiba anak-anak datang
berlarian menghampirimu, langkah kaki kecil mereka menghentak kayu-kayu
dermaga, membuatnya bergoyang-goyang, dan buyarlah rasa sepi itu.. Itulah
bahagia :)
Semenjak
saat itu, seorang rinay semakin menemukan alasan, apa yang akan membuatnya
bertahan di tempat tinggal barunya, menemukan alasan kenapa diri ini tidak
boleh mudah merasakan kesendirian, menemukan alasan kenapa seorang guru harus
selalu tersenyum sekalipun sedang dalam suasana hati yang buruk, dan semakin
menemukan banyak alasan untuk terus menyalakan lilin di kegelapan sekalipun dalam
tiupan badai. Ya, anak-anak itu adalah harapan bangsa. Tunas muda itulah yang
kelak akan membangun negara Indonesia. Tengoklah, mereka yang hidup dalam
keterbatasan juga bisa tumbuh besar seperti anak-anak lain yang berkembang
pesat dengan kemudahan dalam berbagai hal di luar sana. Anak-anak itulah yang
kelak akan membuat Indonesia menjadi negara yang mandiri, dan inilah tugas kita
semua, untuk turut mencari, menemukan, dan mengangkat mutiara-mutiara terpendam
sekalipun mereka berada di pelosok negeri, sekalipun mereka tertimbun di dasar
samudra yang paling dalam.
Ternyata,
anak-anak di pelosok negeri itu… justru membuat diri ini lebih banyak belajar
akan arti hidup, arti sebuah rasa syukur. Seperti kata bapak guru Adji, Ini
bukan hanya cerita mengajar. Ya, tidak hanya sekedar cerita, tidak hanya
sekedar mengajar, tapi juga belajar untuk memaknai setiap langkah dengan
ketulusan, belajar untuk menahan diri dari ekspektasi yang terlalu tinggi tanpa
melihat realita, belajar untuk tetap optimis dalam kondisi tidak stabil,
belajar untuk memperjuangkan dan juga berjuang dalam keterbatasan, belajar
untuk mencintai negeri sendiri, dan belajar untuk melihat Indonesia dari sisi
lain. Ingin sekali aku berdiri diatas puncak tertinggi gunung bersalju (seperti
mbak eMJe Pengajar Muda Fakfak angkatan II :p), lalu ingin kuteriakkan kepada
negeriku,
“Indonesia…
dengarlah, anak-anak di ujung negeri ini masih mampu untuk menjunjung tinggi
tanah airnya! Anak-anak di pelosok negeri ini masih mau belajar sekalipun dalam
keterbatasan! Mulut-mulut mungil mereka tak pernah meminta yang muluk-muluk
kepada para petinggi negara agar membenahi bangku kursi mereka yang telah
patah, rapuh dimakan usia. Tangan-tangan kecil mereka tak pernah menengadah
untuk meminta agar lantai kelasnya diperbaiki supaya tidak ada murid yang jatuh
karena kakinya terperosok diantara lantai kayu yang berlubang. Tahukah
Indonesia??? Anak-anak itu hanya mengharapkan sosok guru yang hangat hadir di
tengah-tengah mereka, tidak hanya untuk belajar, tapi juga membantu membentuk
kepribadian dan mental mereka yang sangat ingin bisa menjadi seperti atau
bahkan lebih hebat dari bapak dan ibu gurunya. Indonesia, tunggulah… dan
saksikanlah mereka tumbuh berkembang dengan potensi yang luar biasa, hingga
kelak mereka akan mampu menopang bangsanya untuk menjadi bangsa yang lebih maju
dan mandiri. Dan ketika waktu itu tiba, tahukah Indonesia??? Dari berbagai
titik di negeri ini tersenyum bangga sambil berkata -Itu dulu murid saya
sewaktu saya mengajar di desa, sekarang dia sudah jadi orang besar, dan lebih
hebat dari gurunya ini-". :)
Salam
hangat dari anak-anak bertubuh mungil di tepi sungai Musi, Desa Kepayang :)