Wednesday, December 28, 2016

Semoga kelak Allah mampukan

Lama sekali tidak menulis. Terlalu asyik belajar bersama dinamika kehidupan sampai-sampai lupa menuliskannya. Entahlah.. Campur aduk sekali rasanya dalam pekan-pekan ini, terutama pasca menyelesaikan kursus Bahasa Inggris. Bahkan tak ada ide ingin menuangkan apa untuk diceritakan karena ada beberapa hal yang harus dipenuhi saat ini, sebelum kaki kembali merantau di Jawa bagian lain pada Agustus nanti. Dua yang utama adalah bagaimana menyelesaikan buku bacaan yang telah ditarget agar kebiasaan membaca si ‘Neurotic Reader’ ini perlahan-lahan hilang, sehingga ilmu yang diserap tidak setengah-setengah. Lalu, bagaimana menggantikan sebagian peran ibu di rumah yang ternyata sungguh menguras waktu dan tenaga, but i really enjoy it.. (Ini baru sebagian peran sebagai ibu, belum sepenuhnya menjadi seorang ibu sungguhan, hehe.. Bisa dibayangkan collapse-nya seperti apa kelak bila tak punya bekal ilmu menjadi seorang ibu, karena menjadi ibu haruslah multitasker).

Terlalu lama merantau semenjak lulus kuliah dan terlalu asyik dengan dunia organisasi, juga lelahnya adalah lelah berjejaring, kini baru benar-benar merasakan bahwa menjadi ibu adalah hal yang tidak mudah. Saat ini adalah pekan terlama berada di rumah sejak 2012 menjelajah keluar sangkar. Biasanya kurang dari satu bulan kaki sudah harus melangkah lagi untuk melihat dunia. Anaknya haus akan terbang karena sejak kecil hingga menginjak usia 23 tahun selalu berada aman di zona nyaman, hangat di pelukan orang tua. Jadi, begitu melihat celah untuk mengepakkan sayap, maka kesempatan itu tak boleh disia-siakan. That’s why.. Ada kekaguman yang tak pernah putus terhadap sosok ibu. Betapa sabarnya beliau mengurus kami, mengurus keluarganya. Dikaruniai empat orang putri (Sekarang tinggal tiga karena kakak telah berpulang ke Rahmatullah pada 2008 lalu karena sakit) yang ketiganya aktif di organisasi kampus pada saat kuliah, hingga sekarang kami telah dewasa dan satu telah berkeluarga, sisanya pun masih dan akan terus punya kesibukan sendiri, ibu tak pernah lelah mengurus kami. Yang lebih membuat kagum adalah selelah-lelahnya ibu mengurus keluarga dan sekarang pun statusnya masih bekerja sebagai PNS hingga dua tahun mendatang, beliau tak pernah mengeluh. Hal itu yang membuat malu diri ini bila baru lelah sedikit saja setelah mengerjakan beberapa pekerjaan rumah lantas mengeluh. Kenapa harus mengeluh? Ibu yang seumur hidupnya saja terus bekerja melayani bahkan tak pernah keluar sedikitpun keluhan ketika lelah. Akankah putri-putrinya ini bisa seperti ibu kelak? Sangat berharap diri ini mampu mewarisi kesabaran ibu dalam mengurus rumah tangga.

Apa sebenarnya poin yang ingin saya tulis di sini?

Adalah sebuah cerita yang ingin dikaitkan dengan yang namanya kehidupan berumah tangga. Belum pernah mengalami langsung bagaimana rasanya berumah tangga, bukan pula seorang psikolog yang memahami betul bagaimana menyelesaikan permasalahan rumah tangga, saya hanya belajar dan memetik hikmah dari pengalaman menjadi saksi hidup para istri semenjak saya duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya ibu-ibu rumah tangga yang keluarganya penuh dinamika. Beberapa keluarga yang pernah melintasi perjalanan hidup saya selama masa pendewasaan diri, banyak hal pahit yang saya lihat langsung maupun hanya mendengarnya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ada sosok ibu yang begitu sabar menghadapi permasalahan, yang sebaliknya pun ada (Tak bisa dipungkiri, bahwa berumah tangga adalah bukan hanya manisnya saja yang dirasakan. Karena ini adalah wadah untuk meng-upgrade kapasitas suami dan istri, maka tak heran bila problematikanya pun beragam sebagai ajang untuk terus melatih diri, berproses menjadi lebih baik). Dari banyak permasalahan dalam rumah tangga, satu yang masih mengusik benak saya adalah apabila seorang laki-laki dikaruniai sosok istri yang begitu sabar, sangat sabar dan taat serta telah memenuhi hak-hak suaminya, lalu selama hidupnya ia sering berkata-kata kasar terhadap istrinya, maka bisa dipastikan pemahaman agamanya minim. Bagaimana mungkin seorang suami tega melakukan hal tersebut jika mereka paham bahwa Rasulullah SAW begitu lembut terhadap istri-istrinya bahkan tak pernah membentak maupun mencaci mereka? Bilapun marah, Rasul hanya diam memalingkan muka kemudian pergi sejenak menjauhi istri-istrinya. Tak sampai berteriak atau memukul. Lalu bila para suami itu berkata, “Kami kan bukan Nabi SAW yang sangat sabar”, Wait.. Para istri yang kalian perlakukan seperti itu namun tetap sabar dan taat serta terus memenuhi hak-hak kalian, mereka bukan pula salah satu dari istri Nabi SAW, tapi mereka mencoba menjadi yang terbaik dan terus bersabar. Tidak sadarkah para suami itu atas dosa-dosa yang mereka perbuat? Entahlah.. saya tak pantas menghakimi. Hanya begitu tersentuh menyaksikan para istri yang begitu sabar dan tidak mengeluh terus melayani suaminya yang sering melukai. Semoga menjadi ladang pahala bagi para istri yang terus bersabar dalam ketaatan hanya untuk mencari ridha Allah SWT.

Dibesarkan di sekitar para ibu yang luar biasa, mendorong diri ini untuk belajar problematika rumah tangga semenjak duduk di bangku mahasiswa. Diri sendiri bahkan sempat sulit percaya terhadap laki-laki karena khawatir diperlakukan serupa. Masih ada bekas-bekas luka yang belum sembuh di dalam sini karena menyaksikan pahitnya kehidupan rumah tangga di sekitar sejak saya kecil. Dan saat itu merasa sulit mencari role model keluarga di sekitar saya yang bisa dijadikan panutan (Hanya ada satu keluarga yang menurut saya ideal untuk saya belajar dari mereka bagaimana membangun kehangatan dalam sebuah keluarga, dan saya telah belajar banyak dari mereka hingga saat ini).

Ilmu rumah tangga dan parenting selalu menjadi hal yang menyenangkan untuk dipelajari. Bagaimana tidak, beberapa pengalaman pahit semenjak kecil akhirnya menuntut diri ini untuk kelak membangun sebuah keluarga yang benar-benar sakinah mawaddah wa rahmah. Telah banyak hal dari dinamika rumah tangga yang ditelan begitu saja karena belum mumpuni dalam menyelesaikannya dan ingin diperbaiki bila diri ini diberi kesempatan menjadi seorang istri dan ibu nantinya. Terus berdoa kepada Sang Pemberi Cinta, agar nantinya diberikan pasangan yang shalih dan sabar, dan dijadikan pula diri ini sebagai pasangan yang shalihah dan sabar karena menyadari bahwa berumah tangga adalah mengurai kesabaran, kesabaran yang tidak ada batasnya. Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, jadikanlah kami termasuk hamba-MU yang istiqomah dalam ketaatan dan berikanlah kesabaran yang tiada habisnya jika diberi kesempatan untuk membangun rumah tangga, jadikanlah kami istri-istri yang shalihah dan sabar sehingga mampu mencetak generasi yang kelak membuat Nabi SAW bangga dengan banyaknya umat beliau yang taat dan berada pada jalan lurus-MU semasa hidupnya, Aamiin Ya Rabbal Alamin..



Semarang, 24 Juli 2015 

Saturday, December 13, 2014

Kutitipkan sepucuk rindu pada angin yang berhembus

Oktober 2014.

Empat belas minggu sudah saya tak bersama malaikat-malaikat kecil yang biasanya mengiringi pagi hingga malam saya di sebuah desa terpencil nun jauh disana. Setiap melangkahkan kaki keluar rumah di hampir semua pagi yang terdengar damai oleh cicit burung-burung hutan khas bumi Sriwijaya, lalu hingga malam tiba dan langit nampak petang oleh pekat pergantian hari, sampai menjelang mereka terlelap, celotehan riang dan langkah-langkah kecil mereka tak pernah terpisah dari saya. Tiap pagi selalu ada yang menjemput untuk bersama-sama menuntut ilmu di ruang-ruang belajar yang sengaja dibuat menyenangkan. Lalu ketika tengah hari tiba, tak luput pula ada yang mengantar sampai mulut pintu rumah untuk memastikan ibu gurunya dapat beristirahat sejenak menghilangkan penat. Pun sore hari menuju langgar di hilir desa untuk mendengar merdunya mereka mengaji, langkah gontai namun tetap menyimpan semangat ini selalu diikuti malaikat-malaikat kecil yang bergelayutan manja di pundak atau tangan. Alunan merdu arus anak sungai yang sedalam laut tak mau kalah riang, menemani kami menghabiskan hari-hari yang panjang tanpa aliran listrik penuh di desa, bersamaan sinyal pada seluler yang hilang timbul, juga tanpa ditemani hiruk pikuk segala jenis transportasi dan polusinya di kota besar yang pengap sana.. Sungguh! Saya tak pernah menyangka pernah begitu kuat menjalani hari di tempat berpijak yang cukup sulit bersama mereka, selama satu tahun.
 
Ketika lelah, ibu sadar tawa kalian membangkitkan kembali semangat untuk tak menyerah. Saat penat menggelayuti memori, ibu sadar tangan-tangan kecil kalian yang kerap menggandeng dan membawakan beberapa suap energi mampu menguatkan kembali langkah lelah ini. Ketika hampir-hampir naik darah karena kurangnya kesabaran, ibu sadar, bahwa kalian sangat pantas diperlakukan selembut mungkin. Saat mata telah berat oleh setumpuk kewajiban, celotehan dari mulut kecil kalian membuat rasa ingin tidur ditunda saja, memilih menghabiskan malam-malam di tepi dermaga sungai bersama pertanyaan-pertanyaan kritis kalian, atau sekedar menyanyi untuk menghidupkan sepi, mengalahkan suara nyaring jangkrik-jangkrik di kebun-kebun desa. 

Tahukah nak? Kalian mengajarkan banyak hal kepada ibu. Kalian telah mengajarkan bagaimana memetik ketulusan dari seorang anak kecil, memetik kejujuran dari kepolosan kalian, belajar kuat dari kalian yang sejak dini telah harus menjadi tulang punggung keluarga, belajar mengemas emosi diri, belajar menyeka rengek dan tangisan kalian lalu mengubahnya menjadi tawa dan damai, belajar menyampaikan sesuatu yang rumit menjadi hal yang lebih sederhana, belajar tetap rendah hati karena menyadari bahwa kalian jauh lebih pintar menanyakan hal-hal sulit atas rasa keingintahuan yang tinggi, yang bahkan ibu tak mampu menjelaskannya sesederhana mungkin.

Mungkin seringkali dering telepon dari kalian tidak ibu indahkan. Atau beberapa patah kata sapa ditanggapi dengan sangat terlambat. Sungguh, tak ada niat melupakan atau melukai. Belajar membuat kalian "melepas" hal yang kalian cintai memang tidak mudah. Namun, mengenal sedikit ketegaran dengan cara yang berbeda sejak kecil terkadang diperlukan. Semoga ketika dewasa kelak kalian paham, bahwa tidak selamanya kita akan dapat memiliki apa yang kita harapkan. Belajar untuk merasa nyaman di zona yang tidak nyaman memang tak mudah. Tapi sadarkah bahwa, kalianlah yang juga telah mengajarkan kepada ibu untuk berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan lumpur di sungai, berdamai dengan asap hasil bakaran ubi, berdamai dengan gelombang saat naik perahu ketek, berdamai dengan debu dan keringnya tanah merah di belakang desa, berdamai dengan kayu-kayu dermaga yang telah rapuh, berdamai dengan gigitan nyamuk-nyamuk besar di kebun karet dan jeruk, berdamai dengan rusaknya genset desa sehingga listrik tak menyala berminggu-minggu lamanya lalu kita belajar kepekaan menggunakan lilin juga senter :), berdamai dengan terik matahari di hutan, berdamai dengan lebatnya hujan disertai angin yang cukup sering membuat cemas karena kita hidup di tepian sungai besar, sebuah area yang cuacanya cukup ekstrim. Dan berdamai dengan banyak hal. Ah.. kalian mengajarkan ibu tentang hidup yang sesungguhnya bersama keterbatasan :)

Tahukah kalian? Ibu itu sungguh rindu! Dan menahan rasa itu seringkali nampak lebih pedih daripada mereka yang mampu bebas lepas mengungkapkannya. Semoga kalian semua sehat disana dan semakin bertambah pintar ya! Tak mampu mengungkap lagi, hanya melalui goresan ini ibu titipkan rasa itu. Sembari mengadukan rasa pada Sang Pencipta, ibu titipkan salam rindu.. 
Semoga angin hadir menyampaikannya bersama kelembutan yang hangat menyentuh kalian.. :)


NB. I miss them so bad! Dibuat karena lagi-lagi “thinking” saya dikalahkan oleh “feeling” terhadap anak-anak. Didedikasikan juga untuk adik-adik saya di BEM FPIK, rasa yang sama terhadap kalian juga membekas. Terimakasih telah menjadi “anak-anak saya yang baik dan manis”. Terimakasih telah berperan mendewasakan saya. Sukses bersama ya! Ibu rindu kalian semua. Salam sayang :)

Monday, October 6, 2014

Setahun mengajar, Setahun ditampar, Seumur hidup terinspirasi

15 Juni 2013-28 Juni 2014. Satu tahun yang penuh dengan pembelajaran.

Satu tahun hidup dan tinggal bersama masyarakat akar rumput membuat saya merasa ditampar habis-habisan dengan realita kehidupan disana. Tidak melulu soal kurang meratanya pendidikan berkualitas yang ada di pelosok negeri. Ini bukan pula hanya tentang infrastruktur bangunan yang belum semuanya layak huni bagi siswa Sekolah Dasar. Tak pula melulu soal kualitas guru yang masih dibawah standar dan kuantitasnya yang belum memadai atau merata. Jauh diatas itu semua, bukan menginspirasi atau mengajar, tapi justru diri ini banyak belajar tentang yang mereka sebut dengan “moral”.

Dua bulan di 2013 (21 April-15 Juni 2013) saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Menghabiskan hari untuk belajar bersama, bekerja dalam sebuah tim, juga untuk refleksi diri menjadikan pengalaman itu membekas. Namun, dengan hanya bekal dua bulan belajar tersebut, apa yang akan kami bisa lakukan untuk mereka? Untuk anak-anak dan masyarakat yang tengah menunggu kedatangan kami di 74 titik di ujung-ujung negeri? Apa yang akan dapat kami berikan untuk bisa membantu mereka?? Itu pertanyaan yang melekat di benak saya menjelang detik-detik hari deployment ke penempatan kami bertugas. 
Hingga hari itu pun tiba. Persahabatan dengan tatap muka akan dijeda oleh waktu, satu tahun tak bertemu orang-orang yang telah membuat diri ini banyak belajar di awal menemui tantangan. Waktu-waktu itu akan kami gunakan untuk membumi bersama mereka, untuk lebih mengenal negeri ini dari jarak yang lebih dekat, sangat dekat.

Satu tahun dihantam-hantam tantangan bukanlah penyesalan. Ini adalah keputusan yang telah diambil dan harus dipertanggungjawabkan, wajib dituntaskan. Kala itu hampir-hampir hati ini ingin menyerah ketika di beberapa titik perjalanan, ombak besar membentur begitu kuatnya. Namun sungguh, mental ini dituntut untuk bertahan. “Kamu bukan pecundang!!”. Ya, kata-kata itu menari-nari di dalam memori seolah-olah meledek meragukan kemampuan diri. Tak ingin mundur, justru semakin menguatkan untuk menuntaskan janji yang telah diikrarkan dihadapan Bendera Pusaka Merah Putih pada dini hari yang dinginnya menusuk tulang di area pegunungan, Juni 2013 menjelang hari deployment.

Tahukah bahwa, satu tahun itu seperti ditampar-tampar ribuan kali untuk jangan menyerah! Satu tahun itu adalah belajar kesabaran, kesabaran atas pemakluman yang teramat sangat hingga seringkali terasa melelahkan dan ingin pulang saja tapi tak bisa. Satu tahun itu ‘ilmu padi’ yang bahkan belum dimiliki sungguh diuji, semakin berisi semakin merunduk atau justru semakin angkuh. Celakanya, keangkuhan lebih sering mengalahkan kerendahan hati sekalipun itu hanya terbersit di dalam saja. Satu tahun itu tak hanya fisik yang dituntut kuat, mental pun harus stabil atau diatas rata-rata, karena menyadari bahwa ada 73 titik di penjuru negeri yang juga berjuang dengan tingkat kesulitan yang sama atau bahkan mereka mengalami hal yang jauh lebih sulit dari yang diri ini hadapi. Satu tahun itu adalah pemakluman, pemakluman atas perbedaan karakter dan budaya yang harus tetap disatukan agar jalan tidak pincang, makin kuat menghadapi ombak atau badai yang tengah menanti di ombang-ambing perjalanan. Satu tahun itu adalah belajar mengendalikan diri dan ekspektasi, belajar mendengarkan, belajar untuk tak selalu dikenal, belajar rendah hati, belajar menahan harapan yang tak terpenuhi pada saat benar-benar diinginkan terwujud. Awalnya sulit, sungguh sulit. Namun, bersama orang-orang yang menguatkan lewat cela dan tawa, maka bertahap, ketegaran menguatkan hati, kaki semakin kuat menapaki bumi sendiri, tak bergantung lagi dengan yang mampu. Dan akhirnya, sesuatu yang seringkali meluap-luap dalam diri ini lebih mudah untuk dikendalikan. Ya... satu tahun itu saya seperti ditampar-tampar untuk lebih peduli, bukan melulu tentang diri sendiri, tapi untuk mereka, anak-anak di ujung-ujung negeri yang semangat dan binar matanya membuat lelah pudar, mendorong diri untuk mengajak mereka berlari, makin cepat, lalu terbang menggapai mimpi..

Tahukah bahwa, satu tahun itu tak menjadikan apa-apa bagiku, saat ini. Namun setidaknya, membuat pribadi menjadi lebih malu untuk mengkritik negeri maupun pemimpinnya tanpa diri ini memberikan peluh kontribusi. Satu tahun itu sungguh tak pernah menjanjikan kesuksesan apapun, namun, membuatku sangat banyak belajar, dan lebih sadar untuk mengendalikan ekspektasi pada tingkat sewajarnya, terutama harapan untuk para pemimpin negeri. Kenapa? Agar ketika kecewa dengan beberapa dari mereka, setidaknya mulut saya tidak turut sering memaki, setidaknya diri ini sadar bahwa belum pula memberikan sumbangsih untuk negeri, atau belum mampu memberikan solusi nyata atas permasalahan, sehingga rasa untuk terus menuntut dan mengecam kegelapan itu lebih dapat dikendalikan. Kenapa seperti itu? Karena telah satu tahun belajar pemakluman yang teramat sangat, membuat hati seharusnya lebih mampu terkendali. Tinggal memilih, hanya jadi pengecam, atau mengkritik namun juga berfikir bagaimana caranya untuk berbuat lebih, untuk memperbaiki. Seperti kata pepatah Inggris, "Better to light more candle than cursing the darkness..."


Ternyata Satu Tahun itu... 
Belajar membumi.. Mengenal ibu pertiwi dari jarak yang lebih dekat. 
Maka benar bahwa, Setahun mengajar, Seumur hidup terinspirasi :)

Sunday, September 21, 2014

Semesta turut menyaksikan kebesaran-NYA

Ini menjadi pengalaman pertama, bersama semesta saya turut menyaksikan langsung kelahiran seorang bayi perempuan mungil di sebuah tempat yang kami sebut ‘sisi lain dari republik’ kita, pedalaman Sumatera bagian Selatan dengan hutan sawit dan karet pada sebuah desa di bantaran sungai Lalan, Desa Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin. Saya mengikuti proses kelahiran bayi tersebut, dari kontraksi rendah sampai yang tertinggi, lalu bayi keluar dari rahim ibu, teriakan tangisnya karena menyentuh hawa dingin bumi untuk pertama kalinya memecah ketegangan dalam bilik sederhana berlantai kayu tersebut. Seorang ibu bertaruh nyawa ketika melahirkan bayi. Sempat gemetar saat melihat sang Ibu menjalani detik-detik melahirkan. Lebih dari satu jam saya melihat ibu kontraksi, dan itu sudah terjadi sejak pukul 23.00 semalam. Ibu yang mendampingi putrinya melahirkan pun nampak pucat. Manajemen panik saya diuji melihat beberapa orang tegang. Hati mencoba tetap tenang, mengendalikan diri untuk tidak ikut panik. Di tempat bertugas, pengendalian diri menjadi hal yang terus-menerus diuji, namun menjadi tidak terlalu sulit lagi setelah 9 bulan ditempa di Sekolah Kepemimpinan ini. Sambil turut memegangi ibu, saya mencoba tenang disamping bidan desa yang membantu proses kelahirannya. Sekitar 90 menit kami menunggu, hingga tibalah waktunya.

“Allahu Akbar… Subhanallah…”, kata-kata itulah yang pertama kali terucap dari bibir saya ketika mata ini melihat langsung seorang bayi dilahirkan ke dunia. Ya, posisi saya tepat berada di depan sang ibu, tepat di hadapan tempat lahirnya bayi tersebut. Bersyukur, semuanya berjalan lancar, ibu beserta bayinya selamat dan sehat. Masih gemetar, namun ada rasa haru ketika saya menyaksikan kejadian luar biasa tersebut. Inilah salah satu kebesaran Illahi yang baru pertama kalinya saya saksikan langsung. Seorang bayi yang masih suci lahir ke dunia.

Maha Besar Allah, 24 Maret 2014 sekitar pukul 10.00 WIB, bersama semesta saya turut menjadi saksi kebesaran Illahi. Banyak pembelajaran hidup yang saya peroleh semenjak saya bertugas di Desa Kepayang. Pengalaman ini menjadi moment yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Bagi saya yang tidak punya latar belakang pendidikan di bidang Kesehatan, tentu kesempatan bisa menyaksikan proses kelahiran bayi ini menjadi hal yang langka. Kesempatan yang tidak pernah bisa dibeli. Dan lagi-lagi saya belajar banyak tentang hidup dan perjuangan. Bagaimana seorang ibu berjuang untuk anaknya, bagaimana seorang ibu Kartina nampak tetap tenang membantu proses kelahiran sambil menghibur mereka yang panik, lalu beberapa ibu-ibu warga desa bergiliran menengok dan menjaga, juga belajar ketelatenan ibu Kartina melayani warga.

Terimakasih ibu Kartina, salah satu dewan guru SDN Kepayang yang sekaligus menjadi bidan desa, telah mengijinkan saya untuk ikut mendampingi ibu membantu proses kelahiran seorang bayi. Ibu sangat paham bahwa saya telah lama menanti saat-saat untuk menyaksikan ibu membantu proses kelahiran bayi. Kesempatan itu telah membunuh rasa penasaran saya akan sesuatu yang belum pernah saya alami dan saksikan langsung. Hanya bisa kutitipkan salam rindu kepada ibu melalui angin yang membawa damai, masuk ke celah-celah jendela rumah ibu yang terletak di tengah hutan dan tepi sungai. Sungguh, saya rindu es kacang jahe buatan ibu, rindu nasehat ibu yang sering membuat mata saya berkaca-kaca, rindu peluk cium ibu yang menghangatkan (Ya, ibu Kartina sering mencium kening dan pipi saya setiap saya berpamitan untuk pergi ke kota dan menitipkan anak-anak didik saya kepada beliau). Semoga ibu Kartina sehat-sehat disana bu, semakin berjasa bagi warga desa, dan Allah SWT selalu melindungi ibu :)


Kepayang, April 2014.
 

Friday, September 19, 2014

Introverts just more complex than you

Are you an introvert?

Menjadi introvert seringkali dianggap aneh. Punya dunia sendiri. Ya. Mereka suka berimajinasi, lalu melakukan hal-hal yang diinginkan tidak harus ditemani siapapun. Menghabiskan waktu di sebuah tempat atau ruangan yang ia sukai menjadi hal yang menarik, karena mereka bisa mengerjakan banyak hal yang mereka gemari. Tanpa intervensi siapapun. Bebas menentukan keputusan dan begitu memahami hal yang menjadi prioritas serta kapasitas dirinya. Kalau sedang emosi, seringkali introvert memilih diam atau menyendiri, menjauh untuk membentuk zona nyamannya. Namun tanpa diduga juga mampu kembali ke kondisi semula dalam kurun waktu tertentu. Tak melulu dingin dan pendiam, sebagian dari merekapun hangat, sangat hangat dan mudah berteman. Mudah dekat dengan siapapun karena mampu membuat orang merasa nyaman saat berkomunikasi, rasa empatinya tinggi, pengertian. 

Sisi lainnya, kalau sudah berada pada titik jenuh atau lelah, mereka sungguh sangat menyebalkan. Tidak bisa disentuh dan membuat orang sekitarnya menjadi kurang nyaman. Lalu mungkin beberapa dari mereka menjauh, dan setelah sembuh akan hangat kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Unpredictable. Ketika bagi seorang introvert “menyendiri” adalah bagian spesial dalam episode kehidupan, namun seringkali mereka dianggap menyebalkan oleh teman-temannya. Terkesan defensive. Tidak mau membaur atau bergaul. Sok sibuk sendiri. Dalam keadaan tertentu, sebenarnya introvert mudah ceria. Hanya, titik jenuh atau puncak emosi yang lebih sering dipendam di dalam hati membuatnya menjadi pribadi yang sungguh menyebalkan saat itu, bahkan memungkinkan sekali introvert dijauhi teman-temannya pada kondisi tersebut. Bukan, introvert sesungguhnya tidak seperti itu. Seringkali ketegasan yang meluap menyinggung perasaan orang lain, sehingga tak perlu hal rumit untuk bertahan, maka mereka lebih memilih diam memendam, dan dijauhi saja. It’s better than they must have a fake smile to make someone feels happy! 

Well.. Tak ada yang salah dengan kepribadian seseorang. Jika anda menemukan seorang teman dengan karakter serupa, please don’t judge a book from the cover. Introvert tidak punya niat menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain, hanya terkadang mereka terlalu jujur, tak pandai untuk menyembunyikan apa yang mereka tak sukai. Kadangkala, justru ketidaksukaannya akan sesuatu hanya dipendam di hati, menjauh menjadi pilihan utamanya. Nampak menyebalkan, namun sesungguhnya tak ada niat menyakiti siapapun. They are just more complex than you. Introverts are just the kind of people who would prefer to be around one goodmind, rather 100 empty ones.


Tulisan ini tidak sepenuhnya benar, tidak berdasarkan penelitian, subjektif, hanya berdasarkan pengamatan dan analisa pribadi sehingga tidak perlu terlalu dipercaya. Bagi yang membaca perlu memfilter mana yang sekiranya sesuai dan tidak. Saya mengingat perkataan teman saya yang seorang blogger, “Tulisan itu tidak ada yang bagus atau tidak bagus. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda untuk mengartikannya”. Ya, karena pembaca adalah outsiders. Dan penulis memiliki point of view tersendirinya dari apa yang ditulisnya even those are not make a sense.