15 Juni
2013-28 Juni 2014. Satu tahun yang penuh dengan pembelajaran.
Satu tahun
hidup dan tinggal bersama masyarakat akar rumput membuat saya merasa ditampar
habis-habisan dengan realita kehidupan disana. Tidak melulu soal kurang meratanya
pendidikan berkualitas yang ada di pelosok negeri. Ini bukan pula hanya tentang
infrastruktur bangunan yang belum semuanya layak huni bagi siswa Sekolah Dasar.
Tak pula melulu soal kualitas guru yang masih dibawah standar dan kuantitasnya
yang belum memadai atau merata. Jauh diatas itu semua, bukan menginspirasi atau
mengajar, tapi justru diri ini banyak belajar tentang yang mereka sebut dengan “moral”.
Dua bulan di
2013 (21 April-15 Juni 2013) saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Menghabiskan hari untuk
belajar bersama, bekerja dalam sebuah tim, juga untuk refleksi diri menjadikan
pengalaman itu membekas. Namun, dengan hanya bekal dua bulan belajar tersebut,
apa yang akan kami bisa lakukan untuk mereka? Untuk anak-anak dan masyarakat
yang tengah menunggu kedatangan kami di 74 titik di ujung-ujung negeri? Apa
yang akan dapat kami berikan untuk bisa membantu mereka?? Itu pertanyaan yang
melekat di benak saya menjelang detik-detik hari deployment ke penempatan kami
bertugas.
Hingga hari itu pun tiba. Persahabatan dengan tatap muka akan dijeda
oleh waktu, satu tahun tak bertemu orang-orang yang telah membuat diri ini
banyak belajar di awal menemui tantangan. Waktu-waktu itu akan kami gunakan
untuk membumi bersama mereka, untuk lebih mengenal negeri ini dari jarak yang
lebih dekat, sangat dekat.
Satu tahun
dihantam-hantam tantangan bukanlah penyesalan. Ini adalah keputusan yang telah
diambil dan harus dipertanggungjawabkan, wajib dituntaskan. Kala itu hampir-hampir
hati ini ingin menyerah ketika di beberapa titik perjalanan, ombak besar
membentur begitu kuatnya. Namun sungguh, mental ini dituntut untuk bertahan. “Kamu
bukan pecundang!!”. Ya, kata-kata itu menari-nari di dalam memori seolah-olah
meledek meragukan kemampuan diri. Tak ingin mundur, justru semakin menguatkan
untuk menuntaskan janji yang telah diikrarkan dihadapan Bendera Pusaka Merah
Putih pada dini hari yang dinginnya menusuk tulang di area pegunungan, Juni
2013 menjelang hari deployment.
Tahukah
bahwa, satu tahun itu seperti ditampar-tampar ribuan kali untuk jangan
menyerah! Satu tahun itu adalah belajar kesabaran, kesabaran atas pemakluman
yang teramat sangat hingga seringkali terasa melelahkan dan ingin pulang saja tapi tak bisa. Satu
tahun itu ‘ilmu padi’ yang bahkan belum dimiliki sungguh diuji, semakin berisi
semakin merunduk atau justru semakin angkuh. Celakanya, keangkuhan lebih sering
mengalahkan kerendahan hati sekalipun itu hanya terbersit di dalam saja. Satu tahun
itu tak hanya fisik yang dituntut kuat, mental pun harus stabil atau diatas
rata-rata, karena menyadari bahwa ada 73 titik di penjuru negeri yang juga berjuang dengan
tingkat kesulitan yang sama atau bahkan mereka mengalami hal yang jauh lebih
sulit dari yang diri ini hadapi. Satu tahun itu adalah pemakluman, pemakluman
atas perbedaan karakter dan budaya yang harus tetap disatukan agar jalan tidak
pincang, makin kuat menghadapi ombak atau badai yang tengah menanti di ombang-ambing
perjalanan. Satu tahun itu adalah belajar mengendalikan diri dan ekspektasi,
belajar mendengarkan, belajar untuk tak selalu dikenal, belajar rendah hati, belajar
menahan harapan yang tak terpenuhi pada saat benar-benar diinginkan terwujud. Awalnya
sulit, sungguh sulit. Namun, bersama orang-orang yang menguatkan lewat cela dan
tawa, maka bertahap, ketegaran menguatkan hati, kaki semakin kuat menapaki bumi
sendiri, tak bergantung lagi dengan yang mampu. Dan akhirnya, sesuatu yang
seringkali meluap-luap dalam diri ini lebih mudah untuk dikendalikan. Ya...
satu tahun itu saya seperti ditampar-tampar untuk lebih peduli, bukan melulu
tentang diri sendiri, tapi untuk mereka, anak-anak di ujung-ujung negeri yang semangat
dan binar matanya membuat lelah pudar, mendorong diri untuk mengajak mereka berlari,
makin cepat, lalu terbang menggapai mimpi..
Tahukah
bahwa, satu tahun itu tak menjadikan apa-apa bagiku, saat ini. Namun setidaknya,
membuat pribadi menjadi lebih malu untuk mengkritik negeri maupun pemimpinnya
tanpa diri ini memberikan peluh kontribusi. Satu tahun itu sungguh tak pernah
menjanjikan kesuksesan apapun, namun, membuatku sangat banyak belajar, dan lebih sadar untuk mengendalikan
ekspektasi pada tingkat sewajarnya, terutama harapan untuk para pemimpin negeri. Kenapa?
Agar ketika kecewa dengan beberapa dari mereka, setidaknya mulut saya tidak
turut sering memaki, setidaknya diri ini sadar bahwa belum pula memberikan sumbangsih untuk negeri, atau belum mampu memberikan solusi nyata atas permasalahan, sehingga rasa untuk terus menuntut dan mengecam kegelapan itu lebih dapat dikendalikan. Kenapa seperti itu? Karena telah satu tahun belajar
pemakluman yang teramat sangat, membuat hati seharusnya lebih mampu terkendali. Tinggal memilih, hanya jadi pengecam, atau mengkritik namun juga
berfikir bagaimana caranya untuk berbuat lebih, untuk memperbaiki. Seperti kata pepatah Inggris, "Better to light more candle than cursing the darkness..."
Ternyata Satu Tahun
itu...
Belajar membumi.. Mengenal ibu pertiwi dari jarak yang lebih dekat.
Maka benar bahwa, Setahun
mengajar, Seumur hidup terinspirasi :)