Oktober 2014.
Empat belas minggu sudah saya
tak bersama malaikat-malaikat kecil yang biasanya mengiringi pagi hingga malam
saya di sebuah desa terpencil nun jauh disana. Setiap melangkahkan kaki keluar
rumah di hampir semua pagi yang terdengar damai oleh cicit burung-burung hutan
khas bumi Sriwijaya, lalu hingga malam tiba dan langit nampak petang oleh pekat
pergantian hari, sampai menjelang mereka terlelap, celotehan riang dan
langkah-langkah kecil mereka tak pernah terpisah dari saya. Tiap pagi selalu
ada yang menjemput untuk bersama-sama menuntut ilmu di ruang-ruang belajar yang
sengaja dibuat menyenangkan. Lalu ketika tengah hari tiba, tak luput pula ada
yang mengantar sampai mulut pintu rumah untuk memastikan ibu gurunya dapat
beristirahat sejenak menghilangkan penat. Pun sore hari menuju langgar di hilir
desa untuk mendengar merdunya mereka mengaji, langkah gontai namun tetap
menyimpan semangat ini selalu diikuti malaikat-malaikat kecil yang bergelayutan
manja di pundak atau tangan. Alunan merdu arus anak sungai yang sedalam laut
tak mau kalah riang, menemani kami menghabiskan hari-hari yang panjang tanpa
aliran listrik penuh di desa, bersamaan sinyal pada seluler yang hilang timbul,
juga tanpa ditemani hiruk pikuk segala jenis transportasi dan polusinya di kota
besar yang pengap sana.. Sungguh! Saya tak pernah menyangka pernah begitu kuat
menjalani hari di tempat berpijak yang cukup sulit bersama mereka, selama satu
tahun.
Ketika lelah, ibu sadar tawa
kalian membangkitkan kembali semangat untuk tak menyerah. Saat penat
menggelayuti memori, ibu sadar tangan-tangan kecil kalian yang kerap
menggandeng dan membawakan beberapa suap energi mampu menguatkan kembali
langkah lelah ini. Ketika hampir-hampir naik darah karena kurangnya kesabaran,
ibu sadar, bahwa kalian sangat pantas diperlakukan selembut mungkin. Saat mata
telah berat oleh setumpuk kewajiban, celotehan dari mulut kecil kalian membuat
rasa ingin tidur ditunda saja, memilih menghabiskan malam-malam di tepi dermaga
sungai bersama pertanyaan-pertanyaan kritis kalian, atau sekedar menyanyi untuk
menghidupkan sepi, mengalahkan suara nyaring jangkrik-jangkrik di kebun-kebun
desa.
Tahukah nak? Kalian
mengajarkan banyak hal kepada ibu. Kalian telah mengajarkan bagaimana memetik
ketulusan dari seorang anak kecil, memetik kejujuran dari kepolosan kalian,
belajar kuat dari kalian yang sejak dini telah harus menjadi tulang punggung
keluarga, belajar mengemas emosi diri, belajar menyeka rengek dan tangisan kalian
lalu mengubahnya menjadi tawa dan damai, belajar menyampaikan sesuatu yang
rumit menjadi hal yang lebih sederhana, belajar tetap rendah hati karena
menyadari bahwa kalian jauh lebih pintar menanyakan hal-hal sulit atas rasa
keingintahuan yang tinggi, yang bahkan ibu tak mampu menjelaskannya sesederhana
mungkin.
Mungkin seringkali dering
telepon dari kalian tidak ibu indahkan. Atau beberapa patah kata sapa
ditanggapi dengan sangat terlambat. Sungguh, tak ada niat melupakan atau
melukai. Belajar membuat kalian "melepas" hal yang kalian cintai
memang tidak mudah. Namun, mengenal sedikit ketegaran dengan cara yang berbeda
sejak kecil terkadang diperlukan. Semoga ketika dewasa kelak kalian paham,
bahwa tidak selamanya kita akan dapat memiliki apa yang kita harapkan. Belajar
untuk merasa nyaman di zona yang tidak nyaman memang tak mudah. Tapi sadarkah
bahwa, kalianlah yang juga telah mengajarkan kepada ibu untuk berdamai dengan
diri sendiri. Berdamai dengan lumpur di sungai, berdamai dengan asap hasil
bakaran ubi, berdamai dengan gelombang saat naik perahu ketek, berdamai dengan
debu dan keringnya tanah merah di belakang desa, berdamai dengan kayu-kayu
dermaga yang telah rapuh, berdamai dengan gigitan nyamuk-nyamuk besar di kebun
karet dan jeruk, berdamai dengan rusaknya genset desa sehingga listrik tak
menyala berminggu-minggu lamanya lalu kita belajar kepekaan menggunakan lilin
juga senter :), berdamai dengan terik matahari di hutan, berdamai dengan
lebatnya hujan disertai angin yang cukup sering membuat cemas karena kita hidup
di tepian sungai besar, sebuah area yang cuacanya cukup ekstrim. Dan berdamai
dengan banyak hal. Ah.. kalian mengajarkan ibu tentang hidup yang sesungguhnya
bersama keterbatasan :)
Tahukah kalian? Ibu itu
sungguh rindu! Dan menahan rasa itu seringkali nampak lebih pedih daripada
mereka yang mampu bebas lepas mengungkapkannya. Semoga kalian semua sehat
disana dan semakin bertambah pintar ya! Tak mampu mengungkap lagi, hanya
melalui goresan ini ibu titipkan rasa itu. Sembari mengadukan rasa pada Sang
Pencipta, ibu titipkan salam rindu..
Semoga angin hadir menyampaikannya
bersama kelembutan yang hangat menyentuh kalian.. :)
NB. I miss them so bad!
Dibuat karena lagi-lagi “thinking” saya dikalahkan oleh “feeling” terhadap
anak-anak. Didedikasikan juga untuk adik-adik saya di BEM FPIK, rasa yang sama
terhadap kalian juga membekas. Terimakasih telah menjadi “anak-anak saya yang
baik dan manis”. Terimakasih telah berperan mendewasakan saya. Sukses bersama
ya! Ibu rindu kalian semua. Salam sayang :)