Thursday, September 18, 2014

Menjadi Pengajar Muda itu...



Bismillahirrahmanirrahim…

Saat menulis ini adalah dini hari bertepatan dengan terjadinya hujan badai di desa tempat saya tinggal, dan saya sedang kurang sehat. Semenjak tinggal di desa ini, ini bukan yang pertama kalinya saya terbangun pada dini hari dan bertepatan dengan hujan badai, lalu melakukan refleksi perjalanan saya selama tinggal di desa tempat saya bertugas sebagai Pengajar Muda di Kabupaten Musi Banyuasin. Ya, ini sudah yang ke sekian kalinya saya terbangun saat hujan badai dini hari dan banyak merenung. Beberapa hari (22-27 September) mengurus NUPTK di diknas Kabupaten Sekayu, ditambah perjalanan pulang off road berjam-jam memotong hutan dari Kabupaten Sekayu menuju Kecamatan Bayung lencir, belum lagi perjalanan sungai menuju ke desa menggunakan speedboat terbuka selama 2,5 jam dan berdampingan dengan angin ganas, membuat saya ambruk.. Tapi lagi-lagi, ketika mengingat senyum dan semangat anak-anak SDN Kepayang untuk belajar, untuk mengaji, membuat saya sering mengabaikan rasa lelah yang hinggap di tubuh. Meskipun terkadang kesedihan terbersit, menyaksikan mereka tumbuh di lingkungan “tak ramah”, tidak seperti anak-anak di kota besar yang merasakan tinggal dan tumbuh di zona nyaman. 

Desa Kepayang. Desa tempat saya bertugas terletak di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin dengan ibukota kabupatennya adalah Sekayu. Dari kecamatan, sekitar 80 km apabila ditempuh menggunakan jalur sungai, dan sekitar lebih dari 130 km apabila ditempuh menggunakan jalur darat melewati areal hutan sawit. Itupun tidak bisa langsung menggunakan jalur darat untuk mereka yang berdomisili di desa Kepayang, harus menyeberang dahulu ke desa seberang (desa aspa) menggunakan ketek (sejenis rakit atau perahu kayu sebagai alat transportasi sungai penghubung antar desa) menuju tempat mobil warga diparkir. Tapi jangan dikira jalanan mulus jika naik mobil menuju kecamatan melewati jalur darat, tahu sendiri seperti apa jalanan di Sumatera, kalau tidak terbiasa, bisa membuat tubuh kamu seperti dibanting-banting saat berada di dalam mobil berjam-jam, dan tubuhmu perlu diurut untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Setiap daerah penempatan Pengajar Muda memiliki tantangan yang berbeda-beda, baik secara geografis maupun sosiologis. Tidak bisa dibanding-bandingkan tingkat kesulitannya, dan tentunya, tidak semuanya bisa dilalui dengan “mudah”. Mungkin saya tidak berhadapan langsung dengan ombak besar di lautan saat melakukan perjalanan ke desa tempat bertugas, tidak berhadapan langsung dengan suku-suku pedalaman yang merasa ‘asing’ dengan orang baru dan sulit berbahasa Indonesia, tidak menjadi kaum minoritas di sebuah tempat dimana kamu menjadi satu-satunya orang yang beragama islam, tapi untuk seseorang yang hanya bisa berenang di kolam renang berkedalaman 2-5 meter, menjadi tantangan tersendiri bagi saya ketika harus tinggal dan dihadapkan langsung dengan sungai Lalan yang memiliki kedalaman sekitar 40-60 meter. Belum lagi ketika perjalanan kembali ke desa dari kota Palembang di jembatan Ampera menggunakan jalur sungai, kamu mendapatkan moment yang tidak pernah kamu duga sebelumnya, speedboat kayu yang kamu naiki dihantam badai di tengah-tengah sungai Musi-nya, saat itu saya ber-speedboat tanpa life-vest, dan menyaksikan orang-orang di dalamnya yang telah terbiasa menaiki speedboat bertahun-tahun saja bisa berwajah panik melihat kendaraan yang dinaikinya dihantam ombak sungai dan hampir-hampir terbalik (Ini sungai besar, bahkan bisa dibilang laut di dalam pulau Sumatra, jadi arus sungai bukan lagi arus kecil, tapi bisa dibilang ombak). Saat itu saya dan dua orang PM rekan saya hanya bisa berdoa agar selamat sambil saling berpegangan tangan kuat-kuat. Lalu saat di desa, melihat anak-anak kecil berlarian di sepanjang dermaga-dermaga kayu yang rapuh, juga anak-anak kecil berenang di tengah-tengah sungai tanpa pengaman, saya sering merasa khawatir. Ya, mereka memang berbeda, lahir dan dibesarkan di alam, tentu kemampuan survival-nya jauh lebih baik dibandingkan saya, seseorang yang dibesarkan di lingkungan “ramah”, dan hanya mendapatkan pelatihan survival beberapa hari saja dalam masa pelatihan intensif calon Pengajar Muda angkatan VI. Jadi tidak heran, ketika sampan kecil mereka tiba-tiba terbalik di tengah-tengah sungai karena ombak yang dibuat oleh kapal besar yang sedang lewat di sekitar mereka, lalu mereka yang terjatuh di air hanya tertawa-tawa sambil berenang, mencoba meraih sampan, membalikkannya, dan mengendalikannya kembali menuju tepi sungai. Saya yang melihat dari kejauhan hanya bisa dag dig dug melihat anak-anak didik saya terombang-ambing sambil tertawa-tawa tanpa ada rasa takut ketika berenang di sungai yang dalam itu.

Di sisi lain, masyarakat disini tidak mudah dihadapi dan diterima dengan akal sehat saya. Saat belum genap satu bulan saya tinggal di desa, sudah terjadi dua kali tindak kriminal di area dekat sekolah pada saat bulan puasa, penusukan dan penembakan. Sekali lagi, bagi seseorang yang dibesarkan di lingkungan “ramah”, tentu saja asing, kaget, menyaksikan di dekat tempat ia tinggal, begitu lekatnya tindak kriminal terjadi. Belum lagi ketika hampir setiap hari di sepanjang jalan menuju rumah orang tua angkat saat pulang sekolah, saya harus menelan pahitnya melihat anak-anak didik saya tinggal dan besar di lingkungan yang sumber mata pencaharian orang tuanya adalah melalui judi dan togel. Lalu melihat minum-minuman keras beredar, permainan kartu berdampingan dengan uang, ibu-ibu mengkonsumsi rokok, orang tua bertengkar hebat dihadapan anaknya, kekerasan verbal dimana-mana, dan semua itu terjadi begitu saja di hadapan anak-anak, di hadapan siswa-siswi saya. Suatu ketika saya pun mengetahui sejarah bahwa desa tempat saya tinggal memang beberapa kali pernah digrebek oleh polisi karena adanya peredaran obat-obatan terlarang, sungguh miris… Ya, lagi-lagi, bagi seseorang yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan “ramah”, lalu saat menginjak usia pencarian jati diri pun besar di kalangan teman-teman yang ramah, tiba-tiba dihadapkan di daerah yang saya pribadi menyebutnya,mohon maaf, sarang maksiat, kalau tidak tahan banting, tidak punya semangat untuk survive, tidak terbiasa underpressure, tidak punya kemauan memberontak untuk melakukan perbaikan, bisa-bisa sakit mental menghadapi tantangan sosiologis yang seperti ini.

Di saat hujan badai pada dini hari seperti inilah, saya pun sering merenung, teringat cerita seorang teman tentang desa tertimbun di daerah Dieng, dan kadang terlintas sedikit rasa khawatir. Saya dan teman Pengajar Muda Kabupaten Musi Banyuasin pernah bercakap-cakap, kalaupun desa tempat kami tinggal (yang rata-rata letaknya tepat di tepi sungai besar) di-azab (ditenggelamkan) karena penduduknya yang jauh dari mengingat Tuhan, kami sudah pasrah, dan semoga kami adalah termasuk kaum yang diselamatkan oleh-NYA. Wallahua’lam… ini bukan ketakutan yang berlebihan. Jika kamu mengalaminya sendiri, menjadi seseorang yang tinggal di lingkungan yang 180 derajat berbeda jauh dengan lingkungan tempat kamu tinggal, kamu pasti akan merasakan apa yang saya rasakan.

Tapi lagi-lagi, kata “menyerah” menjadi pantangan, menyerah pada tantangan geografis dan sosiologis? Kalau bukan karena mengingat ada anak-anak di ujung negeri ini yang perlu diperjuangkan harapannya, perlu turut dilunasi janji kemerdekaannya, perlu kehadiran guru yang hangat, yang mendidik tanpa kekerasan, perlu pendidikan yang lebih baik dan lebih layak, perlu pola asuh yang tepat yang tidak mereka peroleh dari orang tuanya, mungkin saya tidak akan pernah berada di desa tempat saya bertugas sekarang. Ya, anak-anak di Desa Kepayang inilah yang membuat nurani berontak saya terhadap keadaan terkadang menjadi melunak, membuat akal sehat saya yang terkadang jungkir balik kembali menjadi stabil ketika mengingat senyum polos mereka, membuat mulut saya diam terkatup atau tetap tinggal dengan senyuman saat kesabaran saya terus-menerus diuji, dan di waktu yang singkat ini, saya harus mendampingi mereka untuk mengenalkan hal-hal kecil yang sebenarnya mereka paham hanya kurang pembiasaan, menasehati itu tidak perlu dengan memukul atau berteriak, menolong sesama tidak perlu imbalan, sekolah itu sangat penting, lalu mengenalkan bahwa belajar adalah tidak melulu menyalin tulisan dari guru atau dari buku, tidak melulu duduk di bangku kelas selama berjam-jam mendengarkan ceramah saja,belajar itu bisa sambil bermain dan bernyanyi. Juga mengenalkan bahwa, Indonesia itu besar dan luas, apalagi dunia, dan setiap anak akan mampu meraihnya apabila pendidikannya baik, sehingga kelak ketika dewasa mereka bisa menyimpulkan bahwa, saya tidak menyesal lahir dan besar di desa, ibu guru...


Desa Kepayang, 29 September 2013, 03.08 WIB.

No comments:

Post a Comment